Pages

Piska

Jumat, 20 Desember 2013
Tidurlah kau.. dalam dingin hujan mendekap

Lelaplah kau.. pergi dari lelahmu hari ini

Dengarkan aku berbisik..

Kudekap kau dengan hatiku, hangatkan tubuh kelumu

Hilangkan dukaku, tunjukan bahagiamu.

Kembalilah pada senyuman

Layaknya awal engkau Tuhan ciptakan

Tenanglah tenang Piska-ku sayang

Aku mengantarmu sampai dalam kamar mungilmu

Kubisikan lagi padamu, betapa hidupmu mengubah awan yg kelabu…
Piska...
Piska...
Read more ...

Untitled

Jumat, 20 Desember 2013
Kita seringkali bersedih, menuntut kebahagiaan dari orang asing yang belum tentu mencintai kita. Sedangkan setiap hari, kita sering membuat sedih orang-orang yang hidup dan matinya rela mereka korbankan demi kita. Lalu… Pada orang asing itu kita bertanya “apakah salah bila aku mencintaimu? Aku korbankan semua untukmu. Mengertilah!” dan bulir-bulir air mata mulai mengalir..

Di lembaran hening lain yang tak pernah kita baca kisahnya, hidup sepasang wanita dan pria yang terdiam dalam kekhawatirannya. Menantikan kita yang sibuk dikecewakan orang lain. Saat kita membuka pintu, dengan sedikit ungkapan cemas mereka menyambut. Kita hanya lurus menuju kamar dan berdiam disana. Membuka jejaring sosial dan menumpahkan segala kegalauan kita. Entah untuk apa. Mungkin kita bangga bila bersedih, bangga bila kita disebut kuat karena mengalami sakit hati yang teramat sangat. Tapi kita selalu saja lupa bahwa yang kuat adalah adalah yang mampu menyaring ucapannya. Bukan mengumbarnya. Ah, maafkan jiwa muda yang lalai ini..

Beberapa menit kita berdiam diri, ketukan pintu memaksa kita bangun dan mendengar beberapa omelan yang membuat kita makin mendidih. Beberapa kata terucap dan kita hanya membalas dengan satu cara: meninggalkan percakapan begitu saja. Pergi kerumah teman untuk mencurahkan masalah hati sendiri lalu menuliskan posting di jejaring sosial yang berbunyi “Cuma ayah-ibu yang sayang sama aku. Aku Cuma sayang kalian J” lalu kembali tenggelam dalam kesedihan. Seolah kita lupa.. bahwa beberapa menit yang lalu kita malah melukai hati mereka. Tapi mereka tak pernah sekalipun lelah mencintai kita. Kita hanya mencintai mereka untuk pencitraan semata.

Setelah kita puas mencurahkan isi hati kepada teman kita, kita kembali pulang. Masuk kamar. Menatap cermin dan berjanji bahwa akan tetap mencintainya karena telah yakin bahwa melupakannya adalah hal yang amat sangat sulit dilakukan. Berharap dia mengerti dan membalas cinta kita, menghapus air mata kita. Sedangkan di balik tembok kamar kita, mereka-orangtua kita-menangis dalam doa mereka. menyebut berulang-ulang nama kita hingga Tuhan tak sanggup kiranya menolak doa mereka, mengharap kebahagiaan dan keselamatan kita mulai dari ujung kaki ke ujung kepala dengan permohonan yang merendah. Merintih. Takut sesuatu yang buruk menimpa kita. Khawatir mengapa selama ini kita bersedih. Berharap mereka bisa mengeringkan air mata kita dan menghadirkan senyum yang indah meski kita menutup diri.

Kini orang asing itu bahagia dengan dunianya sendiri tanpa pernah kita tau sampai kapan kita bisa terus bertahan mencintainya. Hingga kita hancur. Lumpuh. Tenggelam dalam egoisme sendiri. Sibuk meratapi betapa sakit batin ini. Sibuk mematut diri apakah kita harus merelakan hal yang tak kita relakan. Kita mulai sakit, terjebak oleh kelam yang kita bangun dengan kokoh. Melingkupi rapuhnya diri sendiri yang tengah terluka ini. Sementara di luar sana, mereka berdiri melindungi dunia kita. Mati-matian bekerja dan merawat luka-luka kita. Hanya kita yang ada dalam tiap tetes peluh mereka. Kita yang menutup dunia kita sendiri. Mereka yang tak pernah memikirkan hidup mereka sendiri. Kita tak pernah sadar, siapakah yang sesungguhnya bertepuk sebelah tangan? Apakah benar-benar kita yang tak mendapatkan cinta? Apakah makna hidup kita hanya sebatas menunggu dan berharap?

Ayah.. Ibu.. Mengapa tak pernah kalian risaukan cinta kami yang sedangkal jari ini?


Read more ...

Selendang Biru Muda

Jumat, 20 Desember 2013
Sore ini tampak cerah. Dalam hati terbias cahaya temaram senja yang indah. Ruly masih duduk di bangku taman itu. Selalu dengan selendang biru muda di tangannya. Tatapannya beredar dari ujung ke ujung, berharap menemukan selintas bayangan yang dia cari. 2 jam lamanya selendang itu meliuk-liuk dalam genggaman tangannya. Angin seolah ingin menemani kesunyiannya. Ruly kembali berputus asa. Ya, kembali berputus asa untuk waktu yang tak lama. Lalu akan kembali keesokan harinya pada bangku yang sama, waktu yang sama, selendang yang sama. Setiap harinya..
Rumah masih lengang, tak akan ada yang tahu seseorang telah meringkuk di sofa ruang tamu yang bahkan tak diterangi satu lampu pun. Hanya cahaya bulan yang memaksakan pendarnya melalui celah-celah jendela. “Aku pulang..” kalimat itu disambut dengkuran dari orang di atas sofa ruang tamu. Ruly menghela napas panjang saat sinar bulan yang pucat itu menunjukkan keadaan rumahnya yang luar biasa. Pecahan piring dan mie yang berserakan di karpet, air keran yang yang terus mengalir dan sebuah sepatu dalam kulkas yang terbuka. Dia tau, seharusnya dia tak meninggalkan uang lebih dari dua puluh ribu pada abangnya itu. Ruly mengutuki dirinya sendiri dan mulai membereskan kekacauan rumah satu persatu. Abangnya yang pemabuk itu tak akan bangun dengan cepat apalagi membersihkan semuanya. “Andai kamu masih disini, mbak” Ruly menengadah pada bulan dalam bingkai jendela yang lumpuh oleh lampu putih ruang tamu.
Setengah berharap, Ruly menyawang pada abangnya yang tak lagi utuh itu. Kehidupannya pincang karena dia hanya menapak pada raganya. Jiwanya telah pergi bertiup pada seorang wanita yang menghilang karena gempa mengguncang Yogyakarta beberapa tahun silam. Wanita yang tubuhnya selalu bergerak lincah, langkahnya bak mengayuh angin dengan indah, wanita yang raganya perlahan menjauh dari pandangan mata. Ruly berputus asa untuk menarik abangnya kembali pada realita, tapi dia tak pernah berputus asa untuk percaya bahwa wanita itu masih ada. Setidaknya, dia bisa temukan jejaknya. Selendang biru muda yang selalu membawanya kembali menanti di bangku taman tiap sore datang, mengikat kenangan-kenangan tentang wanita itu.
Di sore hari yan lain, taman itu dipenuhi oleh banyak sekali anak kecil yang berlarian. Para orang tua berjalan santai mengawasi mereka. Bangku itu penuh. Tak ada tempat untuk melihat sekeliling dengan leluasa. Semuanya terlalu ramai, terlalu gembira. Dan Ruly tak menyukainya. Ada pertunjukan topeng monyet disana-sini, pantas ramai, pikir Ruly. Sambil berjalan menjelajah tiap jengkal taman itu, Ruly masih mencari-cari selintas bayangan yang sama. Selendang biru muda dia ikat melingkar di tangan kirinya, selalu menemaninya. Sesekali selendang itu dipilin-pilinnya, menggantikan angin yang biasanya mempermainkan gerak luwesnya. Pikirnya melayang pada tahun-tahun lalu yang menyenangkan. Kenangan manisnya membuat Ruly tak kuasa membendung air matanya. Dia mengeringkannya dengan tangan kanannya, tak pernah sekalipun dia gunakan selendang itu. Kain yang melingkar di tangan kirinya itu hanya sebuah pertanda akan janji yang dia pegang dari pemiliknya. Janji untuk segera datang menjenguk di tenda darurat, janji untuk tetap baik-baik saja yang terucap saat getaran bumi itu mengubah penduduk kota menjadi semut yang tak karuan arah perginya. Tak lagi mengerti mana tempat untuk berpijak.
Ruly lelah, dia bersandar pada sebuah ayunan kosong di belakang taman. Tempat bermain yang justru sepi karena ditinggal penikmatnya untuk menonton hiburan topeng monyet dan satwa-satwa pintar lainnya.  Selendang itu dia lepas dari tangan kirinya. Dia duduk dan mengayun kakinya. Membuat tubuhnya naik turun di udara. Dan selendang birunya meliuk-liuk, tak ingin kalah menunjukkan lekuk tubuhnya. Rully memandang langit pasrah, sudah berapa tahun rutinitas ini berlangsung. Berapa lama dia percaya. Berapa kali dia kecewa. Ratusan hari dan selendang itu tetap membisu. Tak sedikitpun dia bersaksi atas kehadiran pemiliknya. Hanya saja Rully tak tahu kapan dia harus berhenti dan menyerah.
“Haruskah aku benar-benar mendatangi abangmu? Lupakanlah.” Sebuah suara membuyarkan lamunannya. Seorang wanita dengan baju yang cukup terbuka menelanjangi matanya. Pikiran dan rekaman dalam sehelai selendang itu tak bersua. Selendang biru muda itu dulu selalu menutup rambut wanita di depannya. Mereka seolah tak lagi dalam sejiwa, antara selendang dan wanita itu, Ruly menolak untuk bertanya. Tapi setiap jengkal tubuhnya berbahasa. Isyarat yang tertangkap oleh wanita yang dinantinya. “Aku tak akan pulang, Ruly. Sudahi penantianmu. Aku tak lagi bisa menjaga kehormatanku. Aku tak lagi bisa membawa nama abangmu. Pulanglah. Jangan tunggu aku.”
Selendang biru muda itu dia genggam dengan erat, janji akan sebuah pertemuan itu terbayar sudah. Di sampingnya, turut berjalan seorang yang menjadi penawar bagi racun dalam jiwa abangnya. Kaki yang akan menyeimbangkan hidupnya, meski entah, Ruly tak yakin dengan kesadaran abangnya. Akankah kembali pada raga dan realita, atau semakin memburuk karena semua berubah. Tak sesuai dengan fantasi liar yang dipendamnya. Ruly menghela napas panjang. Paling tidak, dia tahu bahwa inilah akhir penantiannya. Akhir dari ruang kosongnya selama ini. Jengah. Dia ingin segera kembali pada dunia.
“Resky..” suara wanita itu tertahan dalam bibir merah yang bergetar. Air mata deras menerjang rona pipinya yang manis. Ruly ingin pergi demi menyaksikan semua itu, tak kuasa melihat akhir yang akan tercipta dalam waktu singkat ini. Abangnya beku menatap ambang pintu, tempat wanita itu berdiri terpaku. Untuk pertama kali dalam tahun-tahun terakhir ini, abangnya kembali dalam kesadarannya. Wajahnya pucat meski senyum membingkai wajahnya. Wanita itu mendekat, sejenak ragu pada langkah awalnya. Dalam hening yang amat menyiksa itu, abangnya bangkit dan menangis, memeluk Ruly yang tengah getir. Antara bahagia akan kesadaran abangnya dan berharap akhir yang indah baginya. Wanita itu mendekati mereka berdua. Mendekap mereka dalam diam. Rengkuhan tangannya terpaut erat dengan abangnya. Tanpa terucap sepatah kata pun dari bibirnya.

Wanita itu bangkit disusul dengan abanganya. Mata mereka berpagut dalam masa lalu. Disambarnya selendang biru muda dari tangan Rully yang beku sedari tadi. Di depan mata Ruly dan abangnya, selendang itu terbakar. Habis. Abangnya hanya tersenyum. Senyum yang tak mampu terurai dalam pikiran Ruly. “Seharusnya aku merelakanmu” pria itu berkata. “Maafkan aku. Aku terlanjur terperangkap dalam kemiskinan setelah bencana itu berlalu. Aku malu. Seharusnya kau tak menyakiti adikmu. Kembalilah hidup, bukankah dia lebih membutuhkan kasih sayangmu?” Wanita itu berbalik. “Selamat jalan, Wulan” Ruly mendengar kata itu keluar dari mulut abangnya, tanpa ada jawab dari wanita yang kini tinggal siluet terbungkus kenangan. Dia mendapatkannya, selendang itu, penantian itu, kini terjawab oleh peluk erat abangnya. “Maafkan aku, Ruly. Maafkan aku..”

Read more ...

Nada Yang Hilang

Jumat, 20 Desember 2013
Title                      :         Nada Yang Hilang
Author                 :         Aisah Tri Cahya Aprilia
Inspired by           :         Rachmad Dwi Oktanto
Length type          :         series
POV                     :         author
Part                      :         1
Cast                      :
·        Nisa
·        Fita
·        Mia
·        Aji a.k.a. Fian
Note                     :         Sebenernya ini karya kedua setelah vakum dari kegiatan tulis-menulis (tapi nulis PR dan sekolah masih kooog) tapi berhubung karya pertamaku itu puisi dan aku hampir tiap hari nulis puisi, jadi di periode baru ini mungkin cerita ini juga bisa dibilang yang pertama. Thanks for Anto buat inspirasinya ya. Support to keep going, please ^_^ check these ‘freak sentences that tell you something’ out!
 


Tik tok tik tok tik tok…
            Waktu semakin absurd saja setelah aku membaca tugas dari Pak Rahmad. Matematika. Pelajaran yang selalu berhasil membuatku tertidur. Andai saja otakku seencer Mia si kalkulator berjalan, soal semacam ini tak akan mengganggu moodku. Ah, pilihan terakhir: datang lebih pagi dan menyalin tugas Mia.
            Aku segera membereskan buku-buku dan segala alat tulis yang bertebaran di kamarku. Menyalakan musik dengan sound system yang bisa membuat seluruh rumah terbangun. Pukul 9 malam dan rumah ini selalu sesepi ini. Pagi, siang, malam, semua orang selalu sibuk dengan hal aneh yang disebut ‘meeting`. Ayah dan Bunda selalu pulang malam karena makhluk bernama meeting itu dan langsung tidur saat mencapai rumah. Aku sendirian. Sudahlah. Aku tidur saja..
***
Krrriiiiiiiiinggg……
            Bel sekolah pagi ini membuatku tak bersemangat. Bagaimana tidak, matematika ada di jam pertama dan Mia dikabarkan sakit. Aku sedikit merasa bersalah karena lebih mempedulikan tugas matematika dibanding kesehatan teman karibku itu. Oh, ini bencana. Pak Rahmad berjalan memasuki kelas..
“Selamat pagi anak-anak”
“Selamat pagi, Pak”
            Pak Rahmad tampak tersenyum sumringah. Wajahnya jadi tampak jauh lebih muda kalau begitu. Beliau bukan tipe guru killer, tapi beliau tetap amat disiplin. Sejujurnya aku jadi sedikit tenang melihat suasana hati beliau pagi ini. Ada kabar gembira apa? Apa beliau baru saja menerima kenaikan gaji?
“Nah, anak-anak.. Hari ini kita kedatangan murid baru dari Malang. Untuk itu, mungkin lebih enak kalau kita berkenalan dulu dengan mbaknya ini. Hehehe.. Ayo, mbak. Ayo masuk!”
            Saat itu masuklah seorang perempuan berambut keriting sebahu. Parasnya manis dan aku yakin dia beberapa sentimeter lebih tinggi dari aku. Anak tersebut masuk dengan senyum dan mulai memperkenalkan dirinya.
“Hai semua. Nama saya Mufita Maulana Dewi, tapi panggil saja Fita. Saya pindahan dari SMA 5 Malang. Harapan saya, saya bisa belajar lebih semangat di Sidoarjo. Salam kenal, mohon kerjasamanya ya.”
            Semua anak ribut, terutama anak-anak laki-laki. Mereka sibuk menanyakan hal-hal yang sangat tidak penting pada Fita. Setelah sekitar 3 menit proses perkenalan, Pak Rahmad akhirnya mempersilahkan Fita duduk di sebelahku untuk sementara karena Mia hari ini tidak masuk. Aku berharap dengan adanya murid baru, Pak Rahmad akan melupakan tugas rumah yang harus dikumpulkan hari ini. Meski sebenarnya, antara murid baru dengan tugas rumah sama sekali tak meMiaki hubungan apapun.
“Mmmh.. hai, aku Fita. Kamu Nisa, kan?”
            Bagaimana dia tahu namaku? Bedge namaku tertutup kerudung. Gadis manis ini ternyata menyeramkan, tapi kurasa dia mempunyai kepercayaan diri yang tinggi. Dan terlihat cerdas..
“Iya, aku Nisa. Kamu kog tahu namaku?”
“Heheheh.. ya tahu aja. Eh, ada PR ya?”
“Iya, tapi aku belum ngerjain sih. Kamu juga tahu kalau ada PR? Wew.”
            Aku berkata dengan sedikit menutup-nutupi rasa was-was karena tidak mengerjakan tugas. Sial sekali hari ini. Padahal tak sekalipun aku lalai dalam mengerjakan tugas selama ini.
“Loh? Ya udah, kamu pake catatanku aja. Aku sudah selesai kog.”
            Fita menyerahkan catatannya sambil tersenyum ramah.
“Tapi.. tapi kamu? Kamu kan udah ngerjain..”
“Halah, aku kan murid baru. Kalau nggak ngerjakan juga nggak apa-apa kog”
            Kurang dari 10 detik Pak Rahmad sudah berdiri di sebelah mejaku.
“Mana tugasmu, Nis? Nilai sempurna lagi atau tidak ya kali ini?”
            Kata Pak Rahmad setengah menggoda.
“Mmm.. mungkin Pak, ini tugasnya. Heheh..”
            Aku berkata dengan gugup dan menyerahkan buku catatan Miak Fita, berharap tidak ketahuan. Aku jadi merasa bersalah karena selama ini nilai-nilaiku dalam pelajaran matematika selalu bagus berkat Mia. Memang di pelajaran lain aku mendapat nilai bagus karena hasil kerja kerasku sendiri, tapi aku mulai merasa bahwa nilai raporku tercemar hanya karena nilai matematika yang tidak asli.
            Pak Rahmad tersenyum melihat catatan itu dan menaruhnya kembali di meja. Sementara beliau meneruskan berkeliling, aku mulai penasaran dengan Fita. Siapa dia?
***
            Bel pulang mulai berbunyi dan aku sudah mulai akrab dengan Fita di hari pertama itu. Aku bermaksud mengajak Fita untuk menjenguk Mia tapi dia bilang dia harus ke membeli titipan ibunya di pasar. Fita berangkat lebih dulu, sambil melambaikan tangan dia keluar dari gerbang sekolah. Setelah sedikit bercakap-cakap dengan beberapa teman kelas, aku segera menuju rumah Mia.
            Ditengah perjalanan aku mendapati Mia duduk di bangku alun-alun. Bukankah dia bilang dia harus ke pasar? Pasar sudah jauh terlewat dari sini. Dia tampak murung. Berbeda 180 derajat dari sikapnya di sekolah tadi. Sebenarnya aku ingin menghampirinya untuk sekedar bertanya apakah dia baik-baik saja, tapi akhirnya aku hanya memandang heran tanpa sepengetahuannya, dan tetap meneruskan laju motorku ke  rumah Mia.
Ting..tong..
“Eh, Nis.. nggak bilang kalo mau kesini?”
“Kan aku mau jenguk kamu. Heheh..”
“Mau jenguk apa mau curhat nih?”
            Kata Mia sambil tertawa meledek. Mia selalu tahu gelagatku kalau ingin menceritakan sesuatu. Aku memang ingin menceritakan kesialanku hari ini, dan murid baru itu. Tentang keanehannya tahu segala sesuatu, dan sikapnya yang berubah muram di alun-alun. Kawan, ternyata tak sekali ini aku melihatnya muram di alun-alun, aku dan Mia selalu pulang bersama karena rumah kami satu desa, dan setiap kali pulang kami selalu melihat Fita muram, bahkan menangis di alun-alun  selama satu minggu sejak kami mengenalnya.
***
“Terus kita tanya gitu ke dia? Ah, dia aja kalo disinggung soal pribadinya mesti langsung mengalihkan topik. Baik sih dia, tapi misterius gitu.”
“Terus harus gimana dong, Mi? Aku juga kasihan lihat dia sedih, dan aku tahu rasanya pasti ngeri kalau kita harus menahan sakit dan masalah itu sendiri. Dia kan baru disini.”
            Aku dan Mia terus berusaha memecahkan misteri Fita. Kami ingin membantu, tapi Fita bahkan tak pernah mau bercerita apapun tentang dirinya sendiri. Setelah sekian lama aku dan Mia berdebat kurang kerjaan, akhirnya kami memutuskan untuk mengikutinya sepunlang sekolah. Ah, ini mungkin akan lama. Dan tepat seperti dugaanku, memang lama dan menjemukan.
            Aku dan Mia telah menghabiskan 3 bungkus es dawet dalam waktu 2 jam yang menjemukan. Kami hanya melihat Fita duduk disana dan memegang sebuah buku bersampul tebal berwarna hijau muda. Untuk beberapa saat kami mulai bosan. Dan Mia mulai memutuskan untuk…
“Ayo pulang, Nis. Ayo ayo…”
            Mia mulai merengek-rengek. Anak ini tak bisa terlalu lama kepanasan, dan ini adalah akibat dari ke-kepo-an kami. Aku tidak mungkin tidak mengiyakan Mia yang mulai kelejotan mirip ikan, tapi saat kami berdiri, Fita juga berdiri dan segera berlari ke arah belakang alun-alun.
“Mi, kamu beneran pulang atau..”
“Buruan ikutin, Nis!”
            Mia dengan anehnya kembali bersemangat dan menyeretku mengikuti langkah cepat Fita dengan hati-hati. Sekitar 50 meter dari situ, ada sebuah gang kecil yang dimasui Fita. Hanya ada satu-dua rumah di kawasan itu. Rumah-rumah itu amat sederhana, salah satu rumah menyita perhatianku. Rumah itu asri sekali. Ingin rasanya aku masuk ke rumah itu karena siang ini matahari teriknya minta ampun. Aku dan Mia terus mengendap-endap dan bersembunyi di balik sebuah gerobak sampah. Aduh, baunya.
“Assalamualaikum..”
            Kami melihat Fita mengetuk pintu rumah kecil di sebelah rumah asri itu. Aku terkejut melihat seorang lelaki muda membuka pintu dengan satu tangannya. Tangan kirinya. Aku tak melihat tangan kanannya menempel dimanapun. Astaga!!
“Aih!”
            Mia menutup mulutnya sendiri yang hampir membuat kami ketahuan. Kami tak bisa masuk tentunya. Dan kami tak akan mendapatkan apa-apa bila terus menerus berada di belakang gerobak sampah yang bau ini. Kami memutuskan pulang. Cukup pengintaian kami hari ini, hanya membuahkan satu informasi: Fita tinggal bersama lelaki itu. Lelaki tanpa tangan kanan itu..
***
            Keesokan harinya aku melihat Fita berboncengan dengan Pak Rahmad menuju sekolah. Aku menebak, jangan-jangan Fita adalah anak Pak Rahmad, dan laki-laki kemarin mungkin pembantunya. Aku mengabarkan hal ini pada Mia. Semua yang aku ceritakan hanya di balas dengan kata “hah?” “oh” “hmm”. Menjengkelkan! Aku tak suka mendengar jawaban yang benar-benar meremehkan itu. Lagi pula, suasana hati Mia sedang cerah. Biasanya jawaban seperti itu hanya dilontarkan saat dia badmood.
“Kamu kenapa sih, Mi? Dari tadi jawabnya gitu terus.”
“Kamu tahu, aku nggak bener-bener percaya tebakanmu.”
            Mia mengedipkan mata dan mengejekku.
“Kenapa?”
“Soalnya kemarin aku tanya Pak Rahmad tentang Fita. Kata Pak Rahmad, Fita itu keponakannya. Dia yatim piatu karena kecelakaan mobil di Malang. Itulah sebabnya dia pindah kesini, dia ingin melupakan kejadian itu.”
“Terus, laki-laki aneh kemarin siapa dong?”
“Itu kakakku!”
            Tiba-tiba Fita muncul dengan berurai air mata. Aku rasa dia mendengar semua percakapan kita. Fita langsung duduk di sebelahku dan menutup wajahnya dengan telapak tangan.
“Aku mencoba melupakan kejadian itu dan aku beruntung aku masih bisa tersenyum. Setiap hari aku merindukan keluargaku. Ayah, ibu, dan adikku, tapi aku tahu mereka takkan kembali. Hal yang ingin kulakukan saat ini adalah mengembalikan semangatnya yang hilang.”
“Siapa maksudmu?”
“Tentu saja kakakku! Aku ingin melihat senyumnya lagi. Tapi dia seolah tenggelam dengan dunianya sendiri semenjak kecelakaan itu. Dia tak hanya kehilangan ayah, ibu, dan adik, dia kehilangan tangan kanannya.”
“Tapi kau tak kehilangan temen-temanmu,kan? Kami ingin membantu. Kalau bisa sih..”
            Kataku disambut anggukan semangat Mia. Perlahan Fita mengusap air matanya dan memandang kami.
“Tapi kalian tak mengenal Kak Aji.”
            Oh, jadi namanya Aji..
“Ya kenalin dong. Nanti kita kerumahmu yaa..”
            Perkataan Mia langsung disambut dengan anggukan ceria Fita. Dia kembali tersenyum pada kami dan tampak sangat berharap. Semoga aku  dan Mia bisa membantunya.
***
            Keesokan harinya, kami bertiga menuju rumah Fita sepulang sekolah. Aku membayangkan bagaimana reaksi kakak Fita bila ada orang asing di rumahnya. Fita mengatakan bahwa kakaknya tak bisa menemui siapa pun selain Fita. Aji akan berteriak-teriak histeris dan bersembunyi. Aku ingin segera bertemu dengannya. Ditengah lamunanku, aku tiba-tiba teringat teman kecilku yang bernama Raka. Wajahnya mirip sekali dengan Fita. Dulu aku sempat menaruh hati padanya. Dia pindah ke Surabaya dan aku menangis karenanya. Tapi Ibu bersikeras membujuk bahwa itu hanya cinta monyet. Jadi aku melupakannya.
            Kami bertiga tiba di depan rumah. Tepat seperti apa yang dikatakan Fita, Aji langsung masuk kamar dan meraung-raung tak jelas. Fita berusaha membujuknya untuk keluar, sia-sia. Aku memberanikan diri untuk semakin mendekat dan mengetuk pintu itu.
“Kak Aji.. maaf, aku nggak bermaksud aneh-aneh kog. Aku cuma temannya Fita. Namaku…”
            Sejenak aku terdiam. Aku mendengar sesuatu dan berusaha memastikan apa itu.
“Kak?”
            Dan suara itu terdengar makin keras. Kak Aji menangis. Aku kembali mengetuk pintunya dan memutar gagangnya. Terbuka!
“Kak, ayolah. Aku mohon kau bangun! Bangun dari keterpurukanmu dan terima semua ini. Aku sendirian, Kak. Aku merasa sepi!”
            Fita mulai tak tahan. Aku tahu dia berusaha untuk tidak menangis, tapi toh air matanya tetap meleleh. Ini siang yang panas, otakku memahami itu karena matahari memang amat terik dan aku berkeringat. Tapi hatiku dingin. Aku merasakan pedih melihat rumah ini. Aku tak tahan memikirkan bagaimana Fita melewati hari demi hari sendirian. Memikirkan fakta bahwa Fita melewati setiap kenangan yang juga sendirian. Aku merasakan hal yang sama dirumahku. Mungkin perbedaan terletak pada kedua orang tuaku yang masih hidup, tapi tak pernah ada untukku.
***
“Ayah! Ayah! Aku juara satu ya? Iya kan? Iya kan?”
            Usiaku masih 8 tahun ketika itu, kelas 1 SD. Pada rapor semester pertama aku mendapat peringkat pertama di kelas. Orang tua muridlah yang bertugas mengambil rapor para siswa. Ayah ku yang datang kali ini. Beliau datang terlambat karena pagi-pagi sekali harus ke kantor untuk alasan yang tak ku tahu.
“Nanti Ayah datang jam 8 ya?”
“Iya. Ayah pergi dulu ya..”
           
Itu kata-kata Ayah pada pagi-pagi buta saat aku terbangun karena mendengar suara mesin mobil Ayah. Aku langsung berlari dan mengucapkan hal itu. Ayah pun berlalu dan aku masuk kamar. Di sekolah, aku menunggu Ayah yang tak kunjung datang. Saat itu oang tua masing-masing siswa sudah mulai menerima hasil belajar anaknya selama 6 bulan di sekolah.
Nama lengkapku Annisa Lutfiana. Aku tak ingat berapa nomor absenku dulu. Yang jelas, dengan nama itu aku berada di nomor absen atas, antara 1 sampai 5. Aku mulai menangis karena Ayah tak kunjung datang mengambil rapor. Guru-guru menenangkanku, mengatakan bahwa Ayah masih memarkir mobilnya. Tapi tak mungkin memarkir mobil selama setengah jam. Aku diam. Ingin rasanya menangis lagi karena bangku yang tadinya diduduki orang tua siswa sekarang mulai kosong tersisa kurang dari 10 orang yang masih belum menerima panggilan dari wali kelas. Dan aku tetap diam di ujung bangku aula itu sampai jam sepuluh siang, saat ayahku datang.
Aku langsung menghambur ke arah beliau dan melihat beliau mengambil rapor sambil bercakap-cakap. Dari percakapan tersebut, aku hanya mendengar kalimat “Iya , Pak. Selamat sekali lagi atas prestasi Nisa yang juara satu ini” dan langsung melompat-lompat senang.
“Ayah! Ayah! Aku juara satu ya? Iya kan? Iya kan?”
“Iya, Nak. Ayah kembali ke kantor dulu ya?”
“Yah, tapi nanti..”
“Udahlah, Nis. Ayah masih ada kerjaan. Kamu pulang naik angkot ya, Ayah langsung ke kantor”
            Ayah berlalu sambil membawa raporku. Dan aku hanya bisa melambaikan tangan sambil tersenyum. Berharap Ayah memberiku sebuah hadiah kecil atas keberhasilanku, atau paling tidak, cukup sebuah ucapan bangga seorang Ayah pada anaknya. Itu saja sudah membuatku senang. Seharusnya..
***
            Kami kembali mencoba ke rumah Fita minggu ini. Percobaan datang ke rumahnya minggu kemarin hanya berbuah tangisan tak henti-henti dari Kak Aji. Mia sudah berulang kali berkata “aku takut” tapi dia tak pernah absen memaksa untuk kembali menjenguk Kak Aji. Semangatnya yang aneh menggelitik otakku untuk bertanya seperti ini:
“Apaan sih dari tadi kebelet pulang mlulu? Naksir sama kakaknya Fita ya?”
“Nisa!”
            Dan pertanyaan itu disambut tawa Fita dan pukulan-pukulan kecil Mia yang mendarat di tubuhku. Karena Mia terus menerus berkicau seperti itu, aku dan Fita tak tahan dan segera menuju rumah Fita setelah bel pulang berbunyi. Rumah itu seperti biasa, sepi.
Tok..tok.tok..
            Fita mengetuk pintu dan kak Aji membuka lebar pintu itu.
“Hai kak!”
            Kak Aji hampir saja bersembunyi ketika ia melihat Mia yang menodorkan sebuah kotak berwarna hitam. Kak Aji memandang kotak itu lama. Mungkin dia bingung kotak apa itu, sama bingungnya dengan aku dan Fita yang melihat respon Kak Aji yang mendadak diam karena kotak yang dibawa Mia.
“Coba buka deh. Nggak seberapa bagus sih, tapi aku buat sendiri.”
            Mia menaruh kotak kecil itu di tangan Kak Aji.
“Mendingan kita semua masuk dulu.”
            Fita menggiring kami masuk. Aku mulai heran—dan juga senang—melihat Kak Aji yang berjalan mengikuti kami sambil tetap menatap lekat kotak itu. Mia menuntun Kak Aji untuk duduk dan membantunya membuka kotak.
“Aku lihat foto itu minggu kemarin, aku pikir kamu bisa main piano sungguhan. Aku nggak bisa kasih piano sungguhan, jadi aku beli kotak ini untuk mengingatkanmu lagi tentang nada-nada kehidupan yang dulu pernah kamu mainkan. Ada instrument piano yang bisa kamu dengarkan, Kak. Juga ada rekaman instrument gitar, itu yang aku buat sendiri. Aku nggak bisa main piano. Maaf ya.”
            Foto yang ditunjuk Mia itu menggambarkan seorang anak laki-laki yang tersenyum di depan sebuah piano. Jemarinya tampak menyentuh tuts-tuts piano dan dia tampak cerah. Sangat bahagia. Berbeda dengan laki-laki yang ada di foto, Kak Aji tampak lebih kurus dan tampak sangat tertekan. Tak tampak sinar ceria di wajahnya. Tapi semua orang yang melihat pasti tahu, yang di foto adalah benar-benar Kak Aji.
            Mia membuka kotak hitam itu, isinya adalah benda berbentuk lingkaran berwarna merah dengan motif anyaman. Benda itu mempunyai beberapa tombol di dalamnya. Kak Aji menekan salah satu tombol dan instrument piano yang entah siapa penciptanya itu mengalir lembut. Dalam hati aku berjanji aku akan bermain piano untuk seseorang suatu hari nanti. Selama ini aku bisa bermain piano, tapi aku memainkannya hanya untuk mengusir sepi. Tak bermakna apapun.
            Instrument itu berhenti dan mengalunlah instrument yang lain, terus seperti itu dalam 1 atau 2 jam kedepan sampai instrument-instrumen dalam kotak itu habis. Kami terlingkupi oleh keheningan sesaat, kami hanyut dalam pikiran kami masing-masing. dan saat instrumennya habis, untuk yang pertama kali Kak Aji berani menatap kami dan berkata:
“Aji.”
“Apa?”
            Aku bingung, bukankah itu namanya?
“Aji”
“Cukup, Kak. Dia tak akan dating”
“Ngomong apa sih ini? Aku nggak ngerti.”
            Mia masuk dalam lingkaran kebingungan yang sama denganku.
“Aji itu nama almarhum Papa. Hanya itu yang bisa diucapkan kakakku. Nama sebenarnya adalah Fian.”
“Lalu kenapa kamu memanggilnya Aji?”
            Aku semakin bingung.
“Karena sama seperti Kak Fian, aku juga merindukan sosok Papa. Aku juga kangen Mama, tapi Kak Fian terus menerus mengucapkan nama Papa. Aku memutuskan untuk memanggilnya dengan nama Papa, untuk mengobati luka ku sendiri.”
***
            Kami berkunjung ke rumah Fita hampir setiap hari. Waktunya pun mulai beragam. Terkadang pulang sekolah, sore hari, atau pagi-pagi saat libur sekolah. Kak Aji yang sekarang kami panggil dengan benar, Kak Fian, mulai menerima kedatangan kami. Dia memang masih tak mau menemui kami, hanya sesekali dia keluar kamar untuk ke kamar mandi. Setidaknya kami tak lagi terusir dengan tangisan histerisnya. Sikapnya juga mulai tenang dan normal. Hanya dia masih diam, tak pernah berbicara sepatah kata pun kecuali kata “Aji”. Dan aku sempat melihat sebuah foto keluarga Fita di ruang tamu. Di foto itu ada orang tua Fita, Kak Fian, Fita, dan seorang anak lelaki yang kelihatannya seusia dengan Fita. Mungkin itu adiknya yang pernah ia bilang, walau aku tak yakin karena wajah mereka tampak seusia. Aku mendekati foto itu dan mengamati foto keluarga yang tampak bahagia itu.
“Oh!”
            Aku terkesiap kaget melihatnya. Otakku mempunyai ingatan tentang anak lelaki itu. Aku mengenalnya. Amat sangat mengenalnya. Tapi sedetik kemudian Fita menyeretku keluar, mengajakku ke supermarket untuk membeli Roti. Entah Fita menyadari suasana hatiku yang kacau atau tidak. Aku tetap berusaha tersenyum. Hatiku masih menyimpan beribu pertanyaan baru sekaligus membuka luka lama. Antara fakta dan rasa tak ingin percaya. Benarkah lelaki di foto itu…Raka?

To be continued
Read more ...